Meninggalkan Perkara Tak Berguna
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa saja yang tak berguna baginya (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan Malik).
Hadis ini dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban dalam Shahîh Ibn Hibban; al-Baihaqi dalam Syu’ab al-îmân; dan al-Qadha’i dalam Musnad Syihâb. Hadis ini riwayat az-Zuhri dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra. At-Tirmidzi berkomentar, “Ini merupakan hadis gharib. Kami tidak mengetahuinya dari hadis Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. kecuali dari jalur ini”.
Hadis ini juga dikeluarkan oleh at-Tirmidzi; Malik dalam Al-Muwatha’; Abdurrazaq dalam Mushannaf; al-Baihaqi dalam Syu’ab al-îmân. Hadis ini riwayat Ibn Syihab az-Zuhri dari Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Riwayat dari Ali bin al-Husain ini statusnya mursal sebab ia adalah tabi’un dan tidak disebutkan perawi Sahabatnya. Menurut at-Tirmidzi riwayat ini lebih sahih daripada riwayat yang pertama.
Hadis ini pun dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, al-‘Askari dalam Al-Amtsâl, ath-Thabrani, Abu Nu’aim, Ibn Abdil Bar dalam At-Tamhîd dan al-Qadha’i dalam Musnad Syihâb. Hadis ini riwayat Ali bin al-Husain dari bapaknya (Husain bin Ali bin Abi Thalib).
Hadis ini juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam Al-Kunya, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Ma’rifah ash-Shahabah dari Abu Bakar ash-Shiddiq, dan asy-Syairazi dalam Al-Alqâb dari Abu Dzar.
Imam an-Nawawi menilai hadis ini hasan. Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ’id menilai riwayat Ahmad dan ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabîr dari Ali bin al-Husain bahwa para perawinya tsiqah. Imam Ibn Taimiyah dalam Al-Imân li Ibn Taymiyah, al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ dan az-Zarqani dalam Syarh az-Zarqâni menilainya sahih.
Makna Hadis
Kata ya’nî—mashdar-nya inâyah—artinya adalah sangat memperhatikan sesuatu. Dikatakan ‘anâhu ya’nîhi jika dia memperhatikannya dan mencarinya. Karena itu, makna mâ lâ ya’nîhi adalah sesuatu yang perhatian besarnya tidak terpaut dengannya sehingga sesuatu itu bukan yang dia maksud dan dia cari. Jadi, sesuatu itu tidak penting atau tidak berguna untuknya.
Ibn Rajab menjelaskan hadis ini, bahwa di antara kebaikan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak penting baginya, baik ucapan atau perbuatan. Sebaliknya, ia membatasi pada perkataan dan perbuatan yang penting atau (lebih) berguna.
Al-Qari menjelaskan maksud “tarkuhu mâ lâ ya’nîhi “: yaitu apa yang tak penting dan tak pantas/tak layak untuknya baik berupa ucapan, perbuatan, pandangan atau pikiran. Hakikat sesuatu yang tidak berguna baginya adalah apa yang tidak diperlukan dalam kepentingan agama dan dunianya dan tidak memberi manfaat kepadanya dalam meraih keridhaan Allah. Hidupnya tanpa sesuatu itu tetap mungkin. Dengan selainnya keadaan hidupnya masih bisa baik-baik saja. Hal itu juga mencakup perbuatan-perbuatan tambahan dan ucapan berlebih.
Imam al-Ghazali menjelaskan, batasan apa yang tidak berguna bagimu adalah engkau berbicara sesuatu yang andai engkau tidak mengatakannya maka engkau tak berdosa dan tidak rugi baik kondisi atau harta. Malah menurut al-Ghazali, dengan mengambil/melakukan apa yang tak berguna, orang itu rugi sebab waktu dan kesempatan yang tidak bisa diulang itu berlalu dan sumberdayanya yang tidak bisa diambil lagi itu terbuang untuk sesuatu yang tak berguna, padahal bisa dia gunakan untuk sesuatu yang lebih penting dan lebih berguna.
Namun, Ibn Rajab mengingatkan bahwa yang dimaksud bukanlah meninggalkan sesuatu yang tak penting, tak berguna atau tak diinginkan menurut putusan dan tuntutan hawa nafsu. Namun, yang dimaksud adalah menurut putusan dan tuntutan syariah dan islam. Karena itu, Rasul saw. menjadikannya sebagai bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika keislaman seseorang itu baik, di antara tandanya adalah ia meninggalkan apa yang tidak berguna baginya di dalam Islam baik ucapan, perbuatan atau lainnya. Jadi, kebaikan keislaman itu mengharuskan untuk meninggalkan keharaman, kemakruhan, berbagai hal yang syubhat dan kemubahan lebih yang tidak diperlukan. Semua itu tidak berguna bagi seorang Muslim jika keislamannya sempurna dan mencapai tingkatan ihsan, yakni ia terus-menerus menyadari dan merasakan kehadiran dan pengawasan Allah atas dirinya dalam segala keadaan.
Dari penjelasan para ulama tersebut, apa yang menurut Iislam termasuk mâ lâ a’nî: Pertama, semua keharaman. Kedua, kemakruhan. Dalam hal ini, meski jika melakukan kemakruhan tidak berdosa, tetapi meninggalkannya akan mendatangkan ganjaran. Ketiga, syubhat, yaitu apa saja—benda, ucapan atau perbuatan termasuk muamalah—yang bagi seseorang masih samar status halal-haramnya. Syubhat hendaknya ditinggalkan. Meninggalkan syubhat ini akan bisa melatih dan membangun sikap kehati-hatian, seksama, ketelitian dan tidak menganggap remeh satu perkara; sekaligus bisa meminimalkan peluang tergelincir pada kekeliruan, kesalahan atau lebih buruk lagi keharaman. Keempat, kemubahan berlebih. Ini meliputi ucapan atau perbuatan mubah yang jika ditinggalkan tidak masalah, tidak berdosa dan tidak rugi. Ini juga mencakup benda atau sesuatu termasuk harta lebih dari yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan. Artinya, tanpa benda, sesuatu atau harta itu, hidup akan tetap bisa berjalan baik. Contohnya adalah sesuatu untuk sekadar tren atau gaya hidup. Mengambil kemubahan-kemubahan berlebih ini pada galibnya karena dorongan untuk merasakan kenikmatan, kelezatan atau kepuasan lebih atas dorongan yang muncul semata dari insting atau gharizah.
Jadi, pada dasarnya, yang termasuk mâ lâ ya’nî itu adalah apa saja—ucapan, perbuatan dan sesuatu atau benda—yang tidak mempertebal keimanan, tidak menambah kedekatan kepada Allah, tidak memperbesar capaian atas ridha Allah dan tidak membuat warna ketaatan makin kental. Secara duniawi semua itu juga tidak membuat seseorang makin memberi manfaat kepada sesama. Maka dari itu, meninggalkan semua itu sungguh merupakan tanda baiknya keislaman seseorang. Allâhummarzuqnâ tawfîqa. [Yahya Abdurrahman]
0 komentar:
Posting Komentar